Sesungguhnya nafsu merupakan salah satu
faktor yang menghalagi seseorang dari beribadah kepada Allah Ta'ala dan
menjauhkannya dari ketaatan kepada-Nya serta menjerumuskannya ke dalam kubangan
dosa dan kenistaan. Seseorang harus melawan nafsunya dari hal-hal yang dapat
mendatangkan murka Allah Ta'ala. Maka dari itu manusia terbagi
menjadi dua kelompok. Pertama, manusia yang dikalahkan dan dikuasai oleh hawa
nafsunya. Ia benar-benar tunduk dibawah perintah dan kendalinya. Kedua, manusia
yang berasil memenangkan pertarungan melawan nafsunya. Ia mampu mengekangnya,
menundukkannya, dan nafsu pun tunduk dibawah perintah dan kendalinya.
Allah Ta'ala berfirman yang artinya
:"Adapun orang yang durhaka, lagi mengutamakan kehidupan dunia. Maka
neraka Jahimlah tempat tinggalnya. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran
Rabbnya, lagi menahan diri dari hawa nafsunya. Maka surgalah tempat tinggalnya.
(QS. An-Nazi'at: 37-41)
Nafsu selalu menyeru kepada sikap durhaka dan
mendahulukan dunia. Sedangkan Allah Ta'ala menyeru hamba-Nya
agar senantiasa takut kepadan-Nya dan menahan diri dari hawa nafsunya. Jadi,
hati manusia itu ada di antara dua penyeru. Kadangkala ia condong kepada yang
satu, dan kadang condong kepada yang lainnya. Di sinilah ujian dan cobaan.
Macam- macam nafsu
Di dalam al-Qur'an Allah Ta'ala menyebut
nafsu dengan tiga sifat: muthmainnah, lawwaamah dan ammaarah bis suu'. Dalam
tulisan ini akan dipaparkan ketiga macam tersebut secara rinci,sebagai berikut.
1.Nafsu Muthmainnah
Yaitu nafsu yang tenang dan tertram dengan dzikrullah(
dzikir kepada Allah Ta'ala ), senantiasa tunduk kepada-Nya dan
rindu akan perjumpaan dengan-Nya, maka Allah Ta'ala akan
berkata kepadanya yang artinya :”Wahai nafsu muthmainnah! Pulanglah kepada
Rabbmu dengan penuh ridha dan diridhai!”. (QS. Al-Fajr: 27-28)
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu menafsirkan muthmainnah dengan mushaddiqah (membenarkan
kebenaran). Qatadah rahimahullah berkata, “Yaitu seorang
mukmin yang nafsunya tenang dengan apa yang dijanjikan oleh Allah Ta'ala”.(Tafsir
Al-Qurthubi)
Nafsu muthmainnah adalah jiwa yang
tenang atas kabar yang datang dari Allah Ta'ala dan Rasul-Nya
tentang apa yang terjadi setelah kematian, alam barzakh, dan kejadian di hari
kiamat, seakan-akan melihatnya dengan mata telanjang. Menerima dan ridha atas
takdir Allah Ta'ala, tidak benci dan berkeluh kesah, tidak pula
terguncang keimanannya, tidak berputus asa atas sesuatu yang lepas darinya, dan
juga tidak berbangga atas apa yang dimilikinya. Sebab, semua musibah telah
ditakdirkan oleh-Nya jauh sebelum musibah itu sampai kepadanya, bahkan sebelum
ia diciptakan. Allah Ta'ala berfirman yang artinya:"Tidak
ada musibah yang datang kecuali dengan izin dari Allah. Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya".
(QS. At-Taghabun: 11)
Bila diri itu tenang niscaya ia akan berpindah dari
keraguan kepada keyakinan, dari kebodohan kepada ilmu, dari kelalaian kepada
dzikir, dari khianat kepada taubat, dari riya' kepada ikhlas, dari kedustaan
kepada kejujuran, dari kelemahan kepada semangat yang membaja, dari sifat 'ujub(merasa
bangga terhadap dirinya) kepada ketundukkan, dan dari kesesatan kepada cahaya
petunjuk, ketika itulah nafsu menjadi muthmainnah(tentram) .
Pondasi dari itu semua adalah kesadaran.
Kesadaranlah yang menyingkap kelalaian diri. Di bawah cahaya kesadaran, diri
akan melihat semua yang diciptakan untuknya. Juga, apa yang akan ditemuinya di
alam barzakh, sampai memasuki negeri abadi. Ia juga melihat betapa cepat dunia
berlalu, betapa sedikit dunia memberikan kenikmatannya kepada anak-anaknya dan
orang-orang yang merindukannya . Maka bangkitlah ia seraya berseru: "Duhai,
betapa meruginya aku atas keteledoranku di sisi Allah" (QS. Az-Zumar:
56)
Selanjutnya, ia akan menggunakan sisa umurnya untuk
melengkapi kekurangannya, membenahi puing-puing masa silam, dan memanfaatkan
setiap kesempatan yang ada untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
Ia melihat cahaya kesadaran dan cahaya nikmat Rabbnya
kepadanya. Betapa ia tak mampu lagi menghitungnya, betapa ia tak mampu memenuhi
haknya, betapa ia penuh dengan aib, juga amal-amalnya yang rusak,
kejahatan-kejahatannya, dosa-dosanya, serta kelalaiannya terhadap tugas dan
kewajibannya.
Akhirnya luluhlah nafsunya, khusyu'lah anggota badannya,
dan ia pun berjalan menuju Allah Ta'ala dengan kepala tertunduk
oleh banyaknya nikmat yang ia saksikan serta kejahatan dan dosa dirinya
Kini ia tahu betapa berharga waktu yang dimilikinya.
Bahwa hal itu adalah modal utama kesuksesannya. Maka ia berusaha senantiasa
mendekatkan diri kepada Rabbnya. Sungguh, membuang-buang waktu adalah kerugian,
sedangkan menjaganya adalah kemenangan dan keberuntungan.
Inilah buah dari kesadaran yang merupakan langkah awal
dari nafsu muthmainnah dalam perjalanannya menuju Allah dan
kampung akhirat.
2.Nafsu Lawwamah
Ia adalah nafsu yang selalu berubah keadaan.
Ia sering berbalik, berubah warna. Kadang ia ingat, kadang lalai. Kadang ia
sadar, kadang berpaling. Kadang ia cinta, kadang benci, kadang ia gembira,
kadang sedih. Kadang ia ridha, kadang murka. Kadang ia taat, dan kadang ia
khianat.
Nafsu Lawwaamah ada dua
jenis. Lawwaamah yang tercela dan Lawwaamah yang
terpuji. Pertama adalah nafsu menganiaya diri sendiri. Ia dicela oleh
Allah Ta’ala dan para malaikat. Sedangkan yang kedua adalah
nafsu yang selalu mencela pemiliknya karena keteledorannya dan kekurangannya
dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala padahal ia telah berusaha
sekuatnya. Nafsu ini tidak tercela. Bahkan nafsu yang paling utama adalah nafsu
yang mencela diri atas kekurangan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala,
dan ia siap menerima celaan dalam menggapai ridhaNya.
3.Nafsu Ammarah bis Suu'
Inilah adalah nafsu yang tercela. Ia selalu mengajak
kepada keburukan, dan itu memang tabiatnya. Tidak ada seorang pun yang dapat
selamat dari kejahatannya selain orang-orang yang mendapatkan taufiq dari
Allah Ta'ala . Allah mengisahkan tentang istri menteri (Al-Aziz) yang artinya
:"Dan aku tidak berlepas diri dari nafsuku. Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyeru kepada kejahatan. Kecuali yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya
Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Yusuf: 53)
Dan juga firman-Nya yang artinya :"Sekiranya
bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, niscaya tidak ada
seorangpun dari kalian yang bersih-suci, selamat-lamanya.". (QS.
An-Nur: 21)
Rasulullah Shalalallahu 'alaihi wasalam mengajarkan
kepada para sahabat khutbah hajah, "Segala puji bagi Allah. Kita
memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita juga
berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kita dan keburukan amal-amal kita."
Kejahatan itu tersimpan di dalam nafsu. Ia akan mengajak
kepada amal-amal yang buruk. Apabila Allah Ta'ala membiarkan
seorang hamba bersama nafsunya, ia akan binasa di tengah-tengah kejahatan nafsu
dan amal buruknya. Apabila Allah Ta'ala memberikan taufiq dan
memberikan pertolongan kepadanya, niscaya selamatlah ia dari hal itu semua.
Oleh karenanya kita memohon kepada Allah Ta’ala yang maha
kuasa untuk melindungi kita dari kejahatan nafsu dan amal buruk kita.
(Dedi)
Maraji' : Tazkiyatun Nafs oleh DR.Ahmad
Farid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar